CERPEN SISWA
Ikhtiar Tidak
Pernah Mengkhianati Hasil
(oleh : Sherina Prayoga 9B)
Agatha Felicia adalah seorang anak yang sangat
cerdas. Dia mempunyai ambisi untuk menjadi pebulutangkis yang terhebat. Demi
memenuhi ambisinya itu, dia ikut program home scholling. Hanya sedikit
kekurangannya, dia terlalu pemalas dan menggampangkan segalanya. Hal itu
membuat dirinya tidak pernah mendapat hasil yang maksimal. Dia juga sulit
melepaskan ketergantungannya kepada handphone, benda kecil yang canggih. Dia
sering berpikiran bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya karena dirinya
tidak pernah kalah.
Bunyi decitan sepatu terdengar
jelas di lapangan bulutangkis indoor itu. Tampak seorang gadis yang sedang
bermain bulu tangkis. Peluh terlihat membasahi wajahnya. “Lagi,” kata
pelatihnya. “Ayah, sudahlah. Aku lelah. Aku sudah bisa,” terdengar jawaban dari
anak gadis itu. “Bagaimana kamu bisa jika kamu tidak pernah berlatih, Agatha?”.
Gadis yang dipanggil Agatha itu mneoleh, “ Aku sudah berlatih, ayah. Kurang apa
lagi latihanku? Aku sudah berlatih 1 jam setiap hari.” Jika kamu sudah menjadi
master, baru bilang seperti itu. Kamu bahkan selalu mengelak ketika disuruh
berlatih. Yang sudah pintar saja masih berlatih 5 jam sehari. Mengapa bahkan
kamu yang belum master tidak mau berlatih lebih lama dari itu, hah?” kata sang
ayah dengan bersulut emosi. “Ya sudah jika kamu tidak mau berlatih lebih giat
lagi. Jangan salahkan ayah jika kamu gugur di babak awal.”
Hari
pertandingan pun tiba. Semua peserta terlihat mempersiapkan diri sebaik-
baiknya. “Tetap fokus. Jangan pedulikan yang lain. Yang terpenting...”. ” Iya,
yah. Aku mengerti. Yang terpenting berusaha maksimal dan mengeluarkan segala
kemampuan. Sudah, aku tanding dulu.” “Semoga berhasil.”
Agatha
menjalani pertandingan dengan sungguh- sunnguh. Dia memang mengeluarkan segala
kemampuannya. Tapi memang dasarnya kemampuannya masih rendah, dia pun kalah.
Agatha kalah dengan skor yang sangat telak, 21-3 dan 21-4. Di perjalanan,
Agatha menumpahkan segala kekesalannya kepada dirinya. Dia menangis sesenggukan
sampai jatuh tertidur.
“Nak,
bangun. Sudah sampai.” Agatha pun mengerjapkan matanya. Setelah kesadarannya
terkumpul, dia menangis kembali. “Ayah, ibu, maafkan aku, yah. Aku gagal. Aku janji setelah
ini aku akan berlatih lagi,” kata Agatha sambil menangis tersedu- sedu. “Sudah,
tidak apa- apa. Sekarang kamu makan, ya. Besok latihan lagi.” “Baik.”
Keesokan
paginya, Agatha sudah berada di ruang latihan padahal matahari belum bangun.
Dia memulai pemanasan sebentar. Setelah itu, dia mulai berlatih bersama
ayahnya. “Langkahkan kakimu dengan cepat. Jangan pernah ragu. Fokuskan
pandanganmu ke bola. Jangan memperhatikan sekitarmu,” nasihat ayahnya. Setelah
itu, Agatha mulai berlatih. Begitu terus sampai pertandingan berkutnya.
...................................................................................................................................................................
Hari
pertandingan pun tiba. Agatha diantarkan oleh ayah dan ibunya menuju lokasi
pertandingan. Sebelum mulai bertanding, ayahnya memberikan petuah- petuah
seperti biasanya. Dia juga mengingatkan Agatha untuk tetap fokus. Akan tetapi,
karena masih terbayang kekalahan di turnamen sebelumnya, dia pun tidak fokus.
Untunglah, dia berhasil melewati babak kualifikasi. Akan tetapi, sampai di
babak utama, dia tersingkir oleh pemain unggulan. Akan tetapi, dia sudah bangga
karena mampu melewati babak kualifikasi dan tersingkirkan oleh pemain yang
unggulan.
Selesai
pertandingan, Agatha pun menghampiri ayahnya yang duduk di pinggir lapangan.
Dia bangga dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, perjuangan belum usai. Dia
belum mendapatkan juara. “Ayah, aku bangga kepada diriku sendiri. Aku mau
berlatih lagi, aku ingin menjadi juara lain kali. Sudah ya, yah. Aku mau lihat
pertandingan yang lain.” “Ya sudah,”
balas ayahnya.
Hari demi hari berlalu, berkat
keseriusan dan ketekunan Agatha, peringkatnya terus meningkat. Bahkan, di
setiap pertandingan, dia selalu mendapat juara
Setelah
melihat konsistensi Agatha, ayah bertanya kepada Agatha apakah mau masuk klub
bulutangkis. “Nak, kamu mau ikut audisi PB Djarum, tidak? Mungkin disana kamu bisa mendapat pengalaman
dan ilmu lebih banyak. Kamu juga bisa bertemu dengan banyak teman disana.
Audisinya 3 bulaln lagi. Kita ikut rayon Surabaya.” “Boleh? Mau, mau.” “Maka
untuk itu, kamu harus berlatih dengan rajin.” “Iya, yah.”
Selama
3 bulan itu, Agatha benar- benar mendedikasikan hidupnnya untuk audisi itu. Dia
tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Di siang hari, dia membantu orang
tuanya, dan berlatih bulutangkis pada
saat pagi dan malam hari. Dia juga meminum suplemen yang diberikan oleh ayahnya
guna menjaga daya tahan tubuhnya.
Hari
audisi pun telah tiba. Awalnya, Agatha sempat minder karena melihat penampilan
peserta lain. Mentalnya sempat turun dikarenakan ingatan akan kekalahannya.
Akan tetapi, ayah dan ibunya selalu menguatkan. “Tidak apa- apa, nak. Jangan
memperdulikan penampilan peserta lain. Yang terpenting kamu mengeluarkan segala
kemampuanmu,” kata ibunya.
Setelah melalui tahap demi tahap,
Agatha pun lolos seleksi untuk kategori putri umur U-15. Karena dia lolos
audisi, orang tuanya memberikan dia handphone baru. “Ayah, ibu, aku akan
tinggal di asrama ya. Tolong restui aku,” kata Agatha. Setelah mendapat restu,
dia berangkat ke asrama. Disana, dia mendapat teman baru. Namanya Mikeyla
Claire. Keyla mempunyai humor yang sangat rendah. Hidup Agatha yang awalnya
datar- datar saja bagai papan talenan pun menjadi lebih berwarna. Keyla juga
seringkali menjadi lawan Agatha untuk berlatih
Di sana, Agatha dituntut untuk
tidak capek. Pagi sampai malam dia harus berlatih. Makanan pun harus yang
terjaga kesehatannya. Akan tetapi,
Agatha tidak pernah mengeluh karena ada Keyla yang menemani harinya.
Setelah berlatih agak lama
disana, Agatha diterjunkan untuk mengikuti turnamen. Memang pada mulanya, dia
selalu terperosok di babak awal. Tetapi, lama- kelamaan dia pun berhasil
menjadi juara. Dia selalu mendapat
podium di tiap turnamen.
Berbanding terbalik dengan
Agatha, Keyla seringkali terperosok di babak awal. Suatu ketika, Keyla tampak
murung. “Key, ada apa?” “Tidak apa- apa.” “Tidak mungkin. Keyla yang kukenal
adalah Keyla yang ceria. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa membantu kamu,” desak
Agatha. “Baiklah. Jadi, aku mau tanya. Gimana kamu bisa menjaga konsistensi- mu
itu? Aku kadang bisa mencapai juara tapi juga sering jatuh di babak awal.” “Oh,
itu. Pokoknya kamu harus mencari tahu bagaimana kamu bisa mendapat konsentrasi
sebelum lomba.” “Oh, oke. Terima kasih, Tha.” “Sama- samaJ,” jawab Agatha.
Setelah kejadian itu, Keyla
selalu berlatih dengan tekun. Latihan dia ibaratkan seperti turnamen. Dia
berpikiran jika latihan saja dia tidak konsentrasi dan tekun, bagaimana jika
dia bertanding nanti. Sementara itu, Agatha bermalas- malasan. Dia merasa
dirinya sudah cukup hebat. Dia mengurangi jatah berlatihnya menjadi hanya 1 jam
sehari. Di latihan rutinyang dijadwalkan pun dia sering mangkir.
Hingga pada akhirnya Agatha dan
Keyla mendapat kesempatan untuk bertanding di suatu turnamen. Untuk saat itu,
Agatha harus mengakui kehebatan Keyla. Aslinya, kemampuan Agatha berada jauh di
atas Keyla. Tetapi, berkat ketekunan Keyla dia berhasil menang dengan laawan
yang levelnya berada di atasnya.
Setelah kejadian itu, Agatha
belum kapok juga. Dia tetap berpikiran bahwa yang terjadi saat itu dikarenakan
oleh masalah teknis, bukan karena kemampuannya. Dia masih tetap bermalas-
malasan seperti sebelum kalah oleh Kayla.
Setelah kalah dari Keyla, Agatha
mengikuti turnamen lain lagi. Dia masih bermalas- malasan. Ditambah lagi,
sebelum perlombaan dimulai dia bermain hp terus. Karena sikapnya yang seperti
itu, dia pun kalah telak dengan menyakitkan oleh lawan yang kemampuannya jauh
di bawahnya. Hal itu membuat ayahnya marah besar, karena beliau sudah
mengeluarkan banyak biaya untuk memasukkan Agatha disana.
“Ayah malu, Agatha. Kenapa kamu
melakukan ini?” “Maaf, ayah. Saat itu aku tidak fokus,” jawab Agatha membela
diri. “Tidak fokus apanyya? Satu- satunya alasan kamu tidak fokus karena kamu
tidak belajar dan pada saat mau lomba kamu malah bermain hp.” “Maaf, yah.”
“Kamu tahu sendiri jika ayah tidak pernah mempermasalahkan hasilnya, ayah hanya
ingin dalam prosesnya kamu bersungguh- sungguh. Itu saja.” “Ayah, maaf.” “Ah,
sudahlah. Jika kamu memang tidak ada niat, hari ini juga ayah akan bilang bahwa
kamu mau keluar dari klub ini.” “Ayah, jangan. Aku akan berlatih lebih giat
lagi, yah. Aku janji,” jawab Agatha sambil sesenggukan. “Baiklah, tetapi jika
ayah melihat kamu tidak ada perubahan, pulang!” “Iya, yah.” “ Oh iya, mana hp
mu? Ini ayah ganti dengan yang lebih jadul saja supaya kamu tidak kebanyakan
main hp terus,” ayah Agatha meminta hp Agatha karena dinilai mengganggu proses
berlatih Agatha. “Ini, yah. Aku juga merasa bahwa hp ini menyebabkan
konsentrasiku pecah.”
Karena peringatan ayahnya dan
keinginan dari diri sendiri, Agatha menjadi gadis yang hebat. Hal ini juga
tidak lepas dari kuasa Tuhan. Sekarang, dia tidak terkalahkan oleh siapapun.
Semua ini berkat ketekunan dan kegigihannya. Dia juga menyingkirkan apapun yang
menghalangi ambisinya untuk selalu menjadi juara.