Minggu, 12 April 2020


CERPEN SISWA

Ikhtiar Tidak Pernah Mengkhianati Hasil
(oleh : Sherina Prayoga 9B)

          Agatha Felicia adalah seorang anak yang sangat cerdas. Dia mempunyai ambisi untuk menjadi pebulutangkis yang terhebat. Demi memenuhi ambisinya itu, dia ikut program home scholling. Hanya sedikit kekurangannya, dia terlalu pemalas dan menggampangkan segalanya. Hal itu membuat dirinya tidak pernah mendapat hasil yang maksimal. Dia juga sulit melepaskan ketergantungannya kepada handphone, benda kecil yang canggih. Dia sering berpikiran bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya karena dirinya tidak pernah kalah.
Bunyi decitan sepatu terdengar jelas di lapangan bulutangkis indoor itu. Tampak seorang gadis yang sedang bermain bulu tangkis. Peluh terlihat membasahi wajahnya. “Lagi,” kata pelatihnya. “Ayah, sudahlah. Aku lelah. Aku sudah bisa,” terdengar jawaban dari anak gadis itu. “Bagaimana kamu bisa jika kamu tidak pernah berlatih, Agatha?”. Gadis yang dipanggil Agatha itu mneoleh, “ Aku sudah berlatih, ayah. Kurang apa lagi latihanku? Aku sudah berlatih 1 jam setiap hari.” Jika kamu sudah menjadi master, baru bilang seperti itu. Kamu bahkan selalu mengelak ketika disuruh berlatih. Yang sudah pintar saja masih berlatih 5 jam sehari. Mengapa bahkan kamu yang belum master tidak mau berlatih lebih lama dari itu, hah?” kata sang ayah dengan bersulut emosi. “Ya sudah jika kamu tidak mau berlatih lebih giat lagi. Jangan salahkan ayah jika kamu gugur di babak awal.”
            Hari pertandingan pun tiba. Semua peserta terlihat mempersiapkan diri sebaik- baiknya. “Tetap fokus. Jangan pedulikan yang lain. Yang terpenting...”. ” Iya, yah. Aku mengerti. Yang terpenting berusaha maksimal dan mengeluarkan segala kemampuan. Sudah, aku tanding dulu.” “Semoga berhasil.”
            Agatha menjalani pertandingan dengan sungguh- sunnguh. Dia memang mengeluarkan segala kemampuannya. Tapi memang dasarnya kemampuannya masih rendah, dia pun kalah. Agatha kalah dengan skor yang sangat telak, 21-3 dan 21-4. Di perjalanan, Agatha menumpahkan segala kekesalannya kepada dirinya. Dia menangis sesenggukan sampai jatuh tertidur.
            “Nak, bangun. Sudah sampai.” Agatha pun mengerjapkan matanya. Setelah kesadarannya terkumpul, dia menangis kembali. “Ayah, ibu,  maafkan aku, yah. Aku gagal. Aku janji setelah ini aku akan berlatih lagi,” kata Agatha sambil menangis tersedu- sedu. “Sudah, tidak apa- apa. Sekarang kamu makan, ya. Besok latihan lagi.” “Baik.”
            Keesokan paginya, Agatha sudah berada di ruang latihan padahal matahari belum bangun. Dia memulai pemanasan sebentar. Setelah itu, dia mulai berlatih bersama ayahnya. “Langkahkan kakimu dengan cepat. Jangan pernah ragu. Fokuskan pandanganmu ke bola. Jangan memperhatikan sekitarmu,” nasihat ayahnya. Setelah itu, Agatha mulai berlatih. Begitu terus sampai pertandingan berkutnya.
...................................................................................................................................................................
            Hari pertandingan pun tiba. Agatha diantarkan oleh ayah dan ibunya menuju lokasi pertandingan. Sebelum mulai bertanding, ayahnya memberikan petuah- petuah seperti biasanya. Dia juga mengingatkan Agatha untuk tetap fokus. Akan tetapi, karena masih terbayang kekalahan di turnamen sebelumnya, dia pun tidak fokus. Untunglah, dia berhasil melewati babak kualifikasi. Akan tetapi, sampai di babak utama, dia tersingkir oleh pemain unggulan. Akan tetapi, dia sudah bangga karena mampu melewati babak kualifikasi dan tersingkirkan oleh pemain yang unggulan.
            Selesai pertandingan, Agatha pun menghampiri ayahnya yang duduk di pinggir lapangan. Dia bangga dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, perjuangan belum usai. Dia belum mendapatkan juara. “Ayah, aku bangga kepada diriku sendiri. Aku mau berlatih lagi, aku ingin menjadi juara lain kali. Sudah ya, yah. Aku mau lihat pertandingan yang lain.” “Ya  sudah,” balas ayahnya.
Hari demi hari berlalu, berkat keseriusan dan ketekunan Agatha, peringkatnya terus meningkat. Bahkan, di setiap pertandingan, dia selalu mendapat juara
            Setelah melihat konsistensi Agatha, ayah bertanya kepada Agatha apakah mau masuk klub bulutangkis. “Nak, kamu mau ikut audisi PB Djarum, tidak?  Mungkin disana kamu bisa mendapat pengalaman dan ilmu lebih banyak. Kamu juga bisa bertemu dengan banyak teman disana. Audisinya 3 bulaln lagi. Kita ikut rayon Surabaya.” “Boleh? Mau, mau.” “Maka untuk itu, kamu harus berlatih dengan rajin.” “Iya, yah.”
            Selama 3 bulan itu, Agatha benar- benar mendedikasikan hidupnnya untuk audisi itu. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Di siang hari, dia membantu orang tuanya, dan  berlatih bulutangkis pada saat pagi dan malam hari. Dia juga meminum suplemen yang diberikan oleh ayahnya guna menjaga daya tahan tubuhnya.
            Hari audisi pun telah tiba. Awalnya, Agatha sempat minder karena melihat penampilan peserta lain. Mentalnya sempat turun dikarenakan ingatan akan kekalahannya. Akan tetapi, ayah dan ibunya selalu menguatkan. “Tidak apa- apa, nak. Jangan memperdulikan penampilan peserta lain. Yang terpenting kamu mengeluarkan segala kemampuanmu,” kata ibunya.
Setelah melalui tahap demi tahap, Agatha pun lolos seleksi untuk kategori putri umur U-15. Karena dia lolos audisi, orang tuanya memberikan dia handphone baru. “Ayah, ibu, aku akan tinggal di asrama ya. Tolong restui aku,” kata Agatha. Setelah mendapat restu, dia berangkat ke asrama. Disana, dia mendapat teman baru. Namanya Mikeyla Claire. Keyla mempunyai humor yang sangat rendah. Hidup Agatha yang awalnya datar- datar saja bagai papan talenan pun menjadi lebih berwarna. Keyla juga seringkali menjadi lawan Agatha untuk berlatih
Di sana, Agatha dituntut untuk tidak capek. Pagi sampai malam dia harus berlatih. Makanan pun harus yang terjaga kesehatannya.  Akan tetapi, Agatha tidak pernah mengeluh karena ada Keyla yang menemani harinya.
Setelah berlatih agak lama disana, Agatha diterjunkan untuk mengikuti turnamen. Memang pada mulanya, dia selalu terperosok di babak awal. Tetapi, lama- kelamaan dia pun berhasil menjadi juara. Dia selalu mendapat  podium di tiap turnamen.
Berbanding terbalik dengan Agatha, Keyla seringkali terperosok di babak awal. Suatu ketika, Keyla tampak murung. “Key, ada apa?” “Tidak apa- apa.” “Tidak mungkin. Keyla yang kukenal adalah Keyla yang ceria. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa membantu kamu,” desak Agatha. “Baiklah. Jadi, aku mau tanya. Gimana kamu bisa menjaga konsistensi- mu itu? Aku kadang bisa mencapai juara tapi juga sering jatuh di babak awal.” “Oh, itu. Pokoknya kamu harus mencari tahu bagaimana kamu bisa mendapat konsentrasi sebelum lomba.” “Oh, oke. Terima kasih, Tha.” “Sama- samaJ,” jawab Agatha.
Setelah kejadian itu, Keyla selalu berlatih dengan tekun. Latihan dia ibaratkan seperti turnamen. Dia berpikiran jika latihan saja dia tidak konsentrasi dan tekun, bagaimana jika dia bertanding nanti. Sementara itu, Agatha bermalas- malasan. Dia merasa dirinya sudah cukup hebat. Dia mengurangi jatah berlatihnya menjadi hanya 1 jam sehari. Di latihan rutinyang dijadwalkan pun dia sering mangkir.
Hingga pada akhirnya Agatha dan Keyla mendapat kesempatan untuk bertanding di suatu turnamen. Untuk saat itu, Agatha harus mengakui kehebatan Keyla. Aslinya, kemampuan Agatha berada jauh di atas Keyla. Tetapi, berkat ketekunan Keyla dia berhasil menang dengan laawan yang levelnya berada di atasnya.
Setelah kejadian itu, Agatha belum kapok juga. Dia tetap berpikiran bahwa yang terjadi saat itu dikarenakan oleh masalah teknis, bukan karena kemampuannya. Dia masih tetap bermalas- malasan seperti sebelum kalah oleh Kayla.
Setelah kalah dari Keyla, Agatha mengikuti turnamen lain lagi. Dia masih bermalas- malasan. Ditambah lagi, sebelum perlombaan dimulai dia bermain hp terus. Karena sikapnya yang seperti itu, dia pun kalah telak dengan menyakitkan oleh lawan yang kemampuannya jauh di bawahnya. Hal itu membuat ayahnya marah besar, karena beliau sudah mengeluarkan banyak biaya untuk memasukkan Agatha disana.
“Ayah malu, Agatha. Kenapa kamu melakukan ini?” “Maaf, ayah. Saat itu aku tidak fokus,” jawab Agatha membela diri. “Tidak fokus apanyya? Satu- satunya alasan kamu tidak fokus karena kamu tidak belajar dan pada saat mau lomba kamu malah bermain hp.” “Maaf, yah.” “Kamu tahu sendiri jika ayah tidak pernah mempermasalahkan hasilnya, ayah hanya ingin dalam prosesnya kamu bersungguh- sungguh. Itu saja.” “Ayah, maaf.” “Ah, sudahlah. Jika kamu memang tidak ada niat, hari ini juga ayah akan bilang bahwa kamu mau keluar dari klub ini.” “Ayah, jangan. Aku akan berlatih lebih giat lagi, yah. Aku janji,” jawab Agatha sambil sesenggukan. “Baiklah, tetapi jika ayah melihat kamu tidak ada perubahan, pulang!” “Iya, yah.” “ Oh iya, mana hp mu? Ini ayah ganti dengan yang lebih jadul saja supaya kamu tidak kebanyakan main hp terus,” ayah Agatha meminta hp Agatha karena dinilai mengganggu proses berlatih Agatha. “Ini, yah. Aku juga merasa bahwa hp ini menyebabkan konsentrasiku pecah.”
Karena peringatan ayahnya dan keinginan dari diri sendiri, Agatha menjadi gadis yang hebat. Hal ini juga tidak lepas dari kuasa Tuhan. Sekarang, dia tidak terkalahkan oleh siapapun. Semua ini berkat ketekunan dan kegigihannya. Dia juga menyingkirkan apapun yang menghalangi ambisinya untuk selalu menjadi juara.