BERUBAH
(Karya: Elzami Rizki Safitri IX-A)
Namaku Sabda. Hari ini adalah hari pertamaku masuk
sekolah. “Pa, ayo cepet.” kataku sambil memakai sepatu di depan rumah. Aku
sudah menunggu lama, tetapi papaku tak kunjung keluar. Aku masuk ke dalam rumah
dan memanggil papaku lagi.
“Pa, ayo cepet. Aku sudah hampir telat.” kataku
dengan nada sedikit kesal.
“Maaf, papa hari ini agak sibuk, Nak. Kamu hari ini berangkat
sendiri dulu aja ya?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Ya,
papaku sekarang sedang bergelut dengan laptop dan tumpukan kertas yang ada di
depannya. Semenjak papaku naik jabatan, beliau selalu sibuk dan jarang bermain
denganku lagi.
Aku sangat kesal dan pergi ke sekolah jalan kaki.
Sesampai di depan gerbang sekolah, ku lihat gerbang sekolah telah tertutup.
“Kok udah ditutup sih.” gumamku.
Tiba-tiba ada seorang murid yang menghampiriku. “Telat
juga ya? Kenapa?” tanyanya. “Kenapa sih nih orang, ganggu aja.” ucapku dalam
hati. Aku pergi ke samping sekolah dan duduk disana. Murid itu juga ikut duduk di
sampingku dan bercerita banyak hal. “Udah sok deket, dekil, cerewet lagi.
Pokoknya aku benci sama dia.” umpatku dalam hati.
Sesampai di rumah aku marah-marah kepada pembantuku.
“Mang, kemana sih? Kok tadi nggak jemput aku. Capek nih. Sekarang cepet ambilin
aku makan.” kataku dengan kesal. “Maaf den, iya saya ambilin makanan sekarang.”
jawabnya. Aku memainkan handphone milikku di kamar. Dan tiba-tiba pembantuku
membawakan makanan untukku.
“Ini den, makanannya.” katanya sambil memberikan
sepiring nasi dan lauk pauknya ke arahku.
“Aku nggak suka makan ikan ini. Aku
nggak mau makan.” kataku sambil meninggalkan pembantuku itu.
Setiap sore aku selalu jalan-jalan untuk menyegarkan
otakku agar tidak sters. Suatu hari tiba-tiba ada yang memanggilku. “Hei,
Sabda.” Aku tau suara siapa itu, tetapi aku terus berjalan tanpa melihat ke
arah sumber suara itu. Setiap hari, saat aku berjalan melewati rumah yang jelek
itu, pasti aku disapa olehnya. Kadang aku hanya meliriknya sekilas dan terus
berjalan.
Suatu hari aku merasa bosan ada di rumah. Aku terus
memikirkan Riski, Si anak dekil itu. “Dia kok bisa kelihatan bahagia terus ya?
Padahal dia belum tentu bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.” kataku dalam hati.
Setahuku, Riski adalah anak yatim piatu yang tinggal sendiri. Ia bisa sekolah
karena mendapatkan beasiswa.
Aku penasaran tentang kehidupan Riski. Daripada aku
penasaran, aku memutuskan untuk mengikuti semua kegiatan hariannya secara
diam-diam. Aku pergi ke rumahnya, dan melihat dia sedang menyapu halaman
rumahnya lalu memberi makan ayamnya. Kemudian Riski pergi ke suatu tempat untuk
mengambil beberapa koran dari seseorang.
“Untuk apa ia mengambil koran sebanyak
itu?” pikirku. Alangkah terkejutnya aku saat melihat ia sedang berada di jalan
raya dan menjual koran-koran itu. Di saat itu, hatiku luluh dan tersentuh karena
kegiatan Riski ini.
Setapak demi setapak ku ikuti terus dia. Ia memberikan
hasil jualannya kepada pemilik koran tadi. Riski juga mendapatkan upah. Aku
terus mengikuti Riski hingga tiba disalah satu warung makan tepi jalan. Setelah
selesai membeli makanan, akhirnya Riski pulang.
Saat di perjalanan menuju rumahnya, aku melihat Riski
memberikan makanannya untuk salah satu tunawisma yang ada di jalanan. Aku
berlari meninggalkan Riski. Berlari secepat-cepatnya dan menembus jalanan yang
sangat ramai. Aku merasakan air mataku turun dengan deras membasahi pipiku. Aku
tak sanggup melihat semua ini.
“Ternyata selama ini aku salah. Aku selalu
bergantung pada orang lain. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Sekarang aku
sadar, aku bisa bahagia apabila aku jadi lebih mandiri dan tak bergantung
kepada orang lain lagi. Aku harus berubah.” pikirku dalam hati.
Tamat