Rabu, 30 Oktober 2019

MENULIS CERPEN

BERUBAH
(Karya: Elzami Rizki Safitri IX-A)

Namaku Sabda. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. “Pa, ayo cepet.” kataku sambil memakai sepatu di depan rumah. Aku sudah menunggu lama, tetapi papaku tak kunjung keluar. Aku masuk ke dalam rumah dan memanggil papaku lagi.
 “Pa, ayo cepet. Aku sudah hampir telat.” kataku dengan nada sedikit kesal.
“Maaf, papa hari ini agak sibuk, Nak. Kamu hari ini berangkat sendiri dulu aja ya?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Ya, papaku sekarang sedang bergelut dengan laptop dan tumpukan kertas yang ada di depannya. Semenjak papaku naik jabatan, beliau selalu sibuk dan jarang bermain denganku lagi.
Aku sangat kesal dan pergi ke sekolah jalan kaki. Sesampai di depan gerbang sekolah, ku lihat gerbang sekolah telah tertutup. “Kok udah ditutup sih.” gumamku.
Tiba-tiba ada seorang murid yang menghampiriku. “Telat juga ya? Kenapa?” tanyanya. “Kenapa sih nih orang, ganggu aja.” ucapku dalam hati. Aku pergi ke samping sekolah dan duduk disana. Murid itu juga ikut duduk di sampingku dan bercerita banyak hal. “Udah sok deket, dekil, cerewet lagi. Pokoknya aku benci sama dia.” umpatku dalam hati.
Sesampai di rumah aku marah-marah kepada pembantuku. “Mang, kemana sih? Kok tadi nggak jemput aku. Capek nih. Sekarang cepet ambilin aku makan.” kataku dengan kesal. “Maaf den, iya saya ambilin makanan sekarang.” jawabnya. Aku memainkan handphone milikku di kamar. Dan tiba-tiba pembantuku membawakan makanan untukku.
 “Ini den, makanannya.” katanya sambil memberikan sepiring nasi dan lauk pauknya ke arahku.
 “Aku nggak suka makan ikan ini. Aku nggak mau makan.” kataku sambil meninggalkan pembantuku itu.
Setiap sore aku selalu jalan-jalan untuk menyegarkan otakku agar tidak sters. Suatu hari tiba-tiba ada yang memanggilku. “Hei, Sabda.” Aku tau suara siapa itu, tetapi aku terus berjalan tanpa melihat ke arah sumber suara itu. Setiap hari, saat aku berjalan melewati rumah yang jelek itu, pasti aku disapa olehnya. Kadang aku hanya meliriknya sekilas dan terus berjalan.
Suatu hari aku merasa bosan ada di rumah. Aku terus memikirkan Riski, Si anak dekil itu. “Dia kok bisa kelihatan bahagia terus ya? Padahal dia belum tentu bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.” kataku dalam hati. Setahuku, Riski adalah anak yatim piatu yang tinggal sendiri. Ia bisa sekolah karena mendapatkan beasiswa.
Aku penasaran tentang kehidupan Riski. Daripada aku penasaran, aku memutuskan untuk mengikuti semua kegiatan hariannya secara diam-diam. Aku pergi ke rumahnya, dan melihat dia sedang menyapu halaman rumahnya lalu memberi makan ayamnya. Kemudian Riski pergi ke suatu tempat untuk mengambil beberapa koran dari seseorang. 
“Untuk apa ia mengambil koran sebanyak itu?” pikirku. Alangkah terkejutnya aku saat melihat ia sedang berada di jalan raya dan menjual koran-koran itu. Di saat itu, hatiku luluh dan tersentuh karena kegiatan Riski ini.
Setapak demi setapak ku ikuti terus dia. Ia memberikan hasil jualannya kepada pemilik koran tadi. Riski juga mendapatkan upah. Aku terus mengikuti Riski hingga tiba disalah satu warung makan tepi jalan. Setelah selesai membeli makanan, akhirnya Riski pulang.
Saat di perjalanan menuju rumahnya, aku melihat Riski memberikan makanannya untuk salah satu tunawisma yang ada di jalanan. Aku berlari meninggalkan Riski. Berlari secepat-cepatnya dan menembus jalanan yang sangat ramai. Aku merasakan air mataku turun dengan deras membasahi pipiku. Aku tak sanggup melihat semua ini. 
“Ternyata selama ini aku salah. Aku selalu bergantung pada orang lain. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Sekarang aku sadar, aku bisa bahagia apabila aku jadi lebih mandiri dan tak bergantung kepada orang lain lagi. Aku harus berubah.” pikirku dalam hati.

                                                         Tamat              





Tidak ada komentar:

Posting Komentar