Rabu, 30 Oktober 2019


Menulis Teks Cerpen

REA
      (Fianur Arfina Ningtyas, IX-B)

                Gemercik air hujan dan suara gemuruh serta kilatan petir menemani kesedihan Rea. Gelap dan sunyi mendominasi kamar gadis berusia 15 tahun tersebut. Di luar sana Rea adalah sosok gadis yang selalu tersenyum. Dia memiliki hidup yang terjamin dan bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya, kecuali satu hal yang begitu sulit untuk terwujud. Mendapat kasih sayang dari orang tuanya adalah hal yang hampir mustahil dirasakannnya.
                Terdengar suara mobil terparkir di garasi menandakan kedua orang tua Rea telah sampai di rumah. Rea segera menghapus air matanya dan pergi menghampiri orang tuanya. Kedua orang tua Rea sedang duduk di ruang keluarga. Keduanya tampak sibuk, sehingga tidak menyadari keberadaan Rea. Rea menghela nafas berat, hatinya seakan teriris karena diabaikan kedua orang tuanya.
                Tiba-tiba Bunda Rea menoleh dan melihat kehadiran Rea yang  berdiri di ujung tangga. “Kamu ngapain berdiri di sana, Rea?” tanya Bunda sinis. Ayah Rea kemudian ikut menoleh, memberikan tatapan mata yang menusuk pada Rea.
“Jam segini seharusnya kamu sudah tidur, cepat masuk ke kamarmu sekarang!!” perintah sang ayah dengan suara yang tegas. Mendengar perintah sang ayah yang hampir seperti sebuah bentakan membuat Rea gelagapan. Rea ingin menjawab tapi ia urungkan, entah mengapa keberaniannya yang sudah ia siapkan mendadak hilang oleh satu bentakan dari sang ayah.
                Rea segera berbalik menuju kamar dengan perasaan kecewa. Dia ingin seperti anak-anak di luar sana yang mendapat kasih sayang serta perhatian lebih dari orang tuanya. Setiap malam Rea selalu menghabiskan waktunya dengan belajar ataupun membaca novel untuk mengurangi kesedihan yang selalui menghantuinya. Tidak ada seorangpun yang hadir untuk menemani dan menghiburnya. Rea tidak memiliki sahabat, jangankan sahabat temanpun Rea tidak punya. Dirinya seperti sebuah kuman yang dijauhi semua orang.
                Pagi harinya Rea bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Rea menduduki bangku kelas 3 SMP. Setelah selesai mengucir kuda rambutnya, ia melihat wajahnya di pantulan cermin. “ Semangat Rea!! Kamu pasti bisa menjalani harimu dengan ceria tanpa beban apapun,” guman Rea memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia menuntun tangannya untuk membentuk senyuman di bibirnya. Ia bergegas turun ke bawah untuk sarapan sendirian. Lagi.
                Tapi anehnya hari ini kedua orang tuanya masih ada di rumah dan sedang duduk di meja makan untuk sarapan. Rea begitu senang, ini kesempatannya untuk meminta diantar ayahnya ke sekolah. Rea tidak pernah diantar oleh sang ayah ke sekolah, selalu supir yang mengantarnya. Rea segera duduk di salah satu kursi dengan senyum yang merekah.
“Yah, hari ini Rea minta diantar ayah ke sekolah ya?” tanya Rea kepada ayahnya.
“Ayah nggak ada waktu, masih banyak pekerjaan di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Kamu diantar pak supir aja kayak biasanya, nggak usah manja jadi anak itu,” sahut sang ayah tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang ia baca.
“Kalau gitu Rea diantar bunda aja, bunda nggak keberatan kan? Rea nggak pernah diantar ayah ataupun bunda.” Pertanyaan yang sama ditujukkan pada sang bunda.
“ Kamu itu apa-apan sih, biasanya juga diantar pak supir. Bunda sibuk mau ketemu client, pekerjaan bunda banyak. Kamu tuh udah besar harusnya bisa urus diri sendiri. Jangan malah bikin beban orang tua sama sikap manja kamu.” Bunda Rea menjawab dengan perkataan yang menusuk hati Rea.
                Rea bukan berniat menjadi beban kedua orang tuanya, bahkan  tak pernah sekalipun terbesit rasa benci di dalam hati Rea. Rea hanya menagih hak nya untuk mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Apakah itu sebuah dosa besar? Tentu saja bukan, semua anak berhak mendapatkan itu. Cukup, Rea sudah terlalu lama memendam kesedihan, kekecewaan, dan kemarahannya.
“ Ayah sama bunda itu kenapa sih? Rea cuma minta diantar ke sekolah. Rea pingin ayah sama bunda peduli sama Rea. Dari kecil Rea ..hiks.. selalu sendiri, Rea butuh kalian berdua, ..hiks..kasih sayang, perhatian, bukan uang kalian!!!” ungkap Rea sambil berderai air mata.
“ Rea takut sendirian, Rea nggak punya teman…hiks... Semua teman Rea menjauh dari Rea,…hiks… mereka bilang Rea itu anak yang menyedihkan, anak yang tidak diharapkan…hiks.. dan cemohan lainnya. Ayah sama bunda nggak pernah tau apa yang Rea rasakan.” Tangis Rea pecah, ia terduduk di lantai.
                Kedua orang tua Rea seakan dihantam beribu batu mendengar pengakuan Rea. Selama ini yang mereka pikir Realah yang tidak peduli dengan kehadiran mereka. Rea tampak biasa saja tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Ternyata pemikiran itu salah, Rea hanya mencoba menutupi kesedihannya dengan keceriaan dan tawanya.
                Bunda Rea menyesal begitupun dengan sang ayah, mereka salah dalam mengartikan sikap putri mereka sendiri. Mereka merasa sangat keterlaluan dan gagal menjadi orang tua yang baik. Mereka pikir dengan hanya memberikan fasilitas dan uang yang cukup dapat membuat putri mereka bahagia, tapi mereka salah besar. Perhatian dan kasih sayang merekalah yang lebih berarti dari apapun.
                Bunda Rea ikut terduduk di lantai, dengan perlahan ia meraih Rea dan mendekapnya erat bagaikan pelukkan kerinduan yang baru bisa tersampaikan. “ Maafkan bunda nak, Bunda telah salah mengartikan sikapmu. Bunda pikir kamu tidak peduli dengan adanya bunda dan ayah. Bunda kira kamu akan bahagia dengan uang dan fasilitas yang bunda berikan,” ujar sang bunda penuh penyesalan.
“ Ayah juga minta maaf dengan sikap kasar ayah kepadamu, ayah sangat menyesal tidak bisa memahami kamu, Nak,” tambah sang ayah sambil ikut memeluk istri dan anaknya.
“ Ayah dan bunda janji kita akan memperbaiki semua dengan memulai kembali semuanya. Kita tidak akan menyianyiakan waktu, kita harus bangkit dan meluruskan semua kesalahpahaman ini. Kamu mau kan, nak?” ungkapan sang ayah sebagai penyelesaian semua masalah.
Rea hanya bisa mengangguk mengiyakan pertanyaan sang ayah. Mereka melepas kerinduan masing-masing. Semua telah usai, senyumanpun terbit di antara mereka. Kesalahpahaman telah terselesaikan.
                                                                                   Beranda SpadaJoe,   Oktober 2019




Tidak ada komentar:

Posting Komentar