Rabu, 17 Oktober 2018

KREASI CERPEN SISWA



KD. 4.6. Menyajikan Pengalaman Pribadi dalam Bentuk Teks Cerpen

Apakah Aku Tak Pantas Untuk Berhijrah?
Oleh : Any Mei (9-I)

            Zahra, seorang gadis pemarah yang mencoba untuk berhijrah. Betapa banyak masalah yang menimpanya, dan Zahra tidak bisa menghadapinya dengan sabar. Ia selalu mencoba untuk sabar, tetapi hal itu mustahil baginya. Kemustahilan itu akhirnya bisa dirubah menjadi kemungkinan oleh Ardhan. Zahra selalu mendapat penerangan dari Ardhan, dan ia menjadi semakin mengerti. Akhirnya, Zahra bisa istiqomah dalam berhijrah. Istiqomahnya semakin kuat, ketika Vanya datang di kehidupannya, dan mereka berdua pun menjalin persahabatan untuk menuju jannah-Nya.
***
            Pagi hari yang cerah, matahari mulai menampakkan senyumnya untuk menyapa bumi. Seorang perempuan yang tak lain adalah Zahra, sedang sibuk menyiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah.
            “Ayah, Ibu, Zahra pamit berangkat ke sekolah dulu, ya,” pamit Zahra.
            “Iya, hati-hati kalau di jalan,” jawab Lesti, ibu Zahra.
            “Iya, Bu. Assalamualaikum,” kata Zahra sebelum berangkat ke sekolah.
            “Waalaikumsalam,” jawab Lesti dan Doni, ayah Zahra.
            Di tengah perjalanan, Zahra terlihat sangat menikmati udara segar di pagi hari. Dengan ayuhan sepeda onthel yang ia kendarai itu, malah semakin membuat Zahra terlihat lebih santai. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Zahra sampai di sekolahan. Ia segera memarkirkan sepedanya dan menuju ke kelasnya.
            “Hai, Zahra,” sapa Eli, teman Zahra.
            “Hai juga,” balas Zahra disertai senyuman.
            Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dimulai. Zahra terlihat begitu semangat mendengarkan guru yang sedang menerangkan. Itulah kegiatan Zahra sehari-hari ketika ia berada di sekolah.
            Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kini Zahra sudah beranjak dewasa. Entah hasutan atau bisikan dari siapa, Zahra mulai memperhatikan pakaiannya. Dia melihat dari atas hingga ke bawah. Tatapannya mulai tertuju kepada hijab yang ia kenakan.
            “Kalo berhijab, aku masih keliatan rambutku. Terus, percuma aku berhijab, dong. Gimana, ya?” gumam Zahra sambil memperhatikan ujung hijabnya.
            Dia terus berpikir dan akhirnya ia memutuskan untuk bertanya-tanya kepada guru ngajinya. Setelah sharing-sharing bersama gurunya, Zahra akhirnya paham. Ia pun mencoba untuk mengubah penampilannya.
            Jam 03.00 pagi, Zahra terbangun. Ia segera mengambil air wudhu, setelah itu ia melaksanakan sholat tahajjud. Seusai sholat, Zahra berdoa kepada Allah.
            “Ya Allah, hamba ingin memperbaiki penampilan hamba, terutama akhlak hamba. Hamba memohon ridho-Mu, agar Engkau melancarkan proses hijrah hamba, aamiin,”
***
            Pagi ini, Zahra sudah rapi dan siap untuk berangkat sekolah. Penampilannya sangat berbeda dari yang biasanya. Ia memakai iket, handsock, dan baju yang sedikit kebesaran. Lesti dan Doni bingung melihat penampilan anaknya, namun mereka berdua hanya diam saja.
            Saat di sekolah, Zahra berjalan dengan menundukkan kepala menuju kelasnya. Tiba-tiba, ia bertabrakan dengan Wildan.
            “Hei, kalo jalan liat-liat, dong! Punya mata gak, sih?!” bentak Wildan.
            Zahra melihat Wildan sekilas, lalu ia memalingkan wajahnya.
            Sorry, aku nggak sengaja,”
            “Zahra? Hahahaha, ini beneran elo? Terus yang ada di kepala lo itu apa? Gombal, ya? Hahahaha,” ejek Wildan.
            Zahra menatap Wildan dengan tatapan tajam. Wildan menatap ke arah Zahra, ia memperhatikan Zahra mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
            “Terus yang ada di tangan lo itu apa? Pake ditutupin segala, kenapa tangan lo? Sakit, cacat, atau mungkin karena hitam?”
            Entah mengapa, ejekan dari Wildan membuat Zahra naik darah.
            “Berisik! Dasar setan!” kata Zahra sambil berlalu dari hadapan Wildan.
            “Mending kelihatan setan, dari pada munafik!” sindir Wildan.
            Zahra mendengar perkataan dari Zidan. Hatinya sangat sakit. Tak lama, buliran bening jatuh dari mata indahnya. Namun, ia mencoba menutupi dari teman-temannya.
            Setelah pulang sekolah, Zahra segera menuju ke kamar mandi. Dia mengeluarkan semua airmatanya. Dia begitu hancur, karena perkataan Wildan selalu terngiang-ngiang di telinganya. Saat akan keluar dari kamar mandi, ia mencuci mukanya dengan sabun muka, agar tidak kelihatan seperti orang yang habis menangis di hadapan orangtuanya.
***
            Pukul 03.00 pagi, Zahra terbangun lagi. Ia berniat untuk melaksanakan sholat tahajjud, ia ingin mencurahkan seluruh isi hatinya kepada Allah.
            “Ya Allah, mengapa hamba tidak bisa bersabar? Mengapa hamba mudah marah? Padahal, hamba sudah sholat, dzikir, mengaji, dan berdoa kepada-Mu, tapi kenapa hamba masih tidak bisa menjadi seorang muslimah sholehah? Hamba ingin menjadi wanita sholehah, wanita yang sangat sabar saat menghadapi masalah, dan tidak mudah menangis, Ya Allah. Hamba menginginkan semua itu,” kata Zahra sambil menengadahkan kedua tangannya dan sesekali terisak dalam tangisannya.
            Di sekolah, Zahra masih memakai pakaian seperti kemarin. Saat Zahra tengah sibuk membaca novel, Wildan datang menghampirinya, dan duduk di hadapannya. Zahra hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus ke novelnya.
            “Hai, Zahra,” sapa Wildan.
            Zahra tak membalas sapaan dari Wildan. Wildan memandang wajah Zahra, dan pandangannya justru malah tertuju pada iket yang dikenakan Zahra di kepalanya.
            “Lo, kok kayak ibu-ibu, ya? Apa nggak malu, kalo dikira ibu-ibu sama teman-teman?” tanya Wildan dengan nada menyindir.
            Zahra tetap diam.       
            “Aduh, beneran, deh, Zah. Lo sama sekali nggak cocok tau, gak? Karena lo itu masih sma, tapi dandanan lo udah kayak emak-emak, hmft,” ejek Wildan sambil menahan tawanya.          
            Tiba-tiba, Zahra menutup novelnya dan menggebrak mejanya.
            Brak!!!
            Seluruh yang ada di kelas terkejut dan langsung melihat ke arah Zahra dan Wildan.
            “Kamu! Kamu tidak puas membikin aku sakit hati? Apa kamu tidak puas menggunjing aku setiap hari? Apa kamu nggak suka kalo aku berpenampilan seperti ini? Jawab!” teriak Zahra kepada Wildan.
            Wildan terdiam sebentar, dan tiba-tiba, dia meledakkan tawanya.
            “Hahahaha, akhirnya ketahuan juga akal bulus lo! Lo itu munafik! Penampilan lo sangat syar’i, tapi akhlak lo busuk! Percuma!”
            Mendengar perkataan dari mulut Wildan itu, membuat airmata Zahra keluar. Zahra menutupinya dan langsung berlari ke luar kelas. Ia menuju kamar mandi sambil menangis. Di saat itu juga, ia melepas iketnya dan juga handsocknya.
***
            Hari mulai berlalu, semenjak kejadian itu, Zahra mulai merubah penampilannya seperti dulu lagi. Ia tidak mengenakan iket dan handsock lagi, baju yang dikenakannya pun seperti dulu. Ia merasa putus asa, dan ia merasa bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia ingin sekali mengakhiri hidupnya, tetapi saat itu ada seseorang yang membuat Zahra kembali semangat untuk menjalani hidup, orang itu tak lain adalah Reno.
            Zahra jatuh hati kepadanya, akhirnya ia berusaha untuk mendekatinya. Reno juga merasa kalau Zahra menyukainya. Lama-kelamaan, cinta yang ada di dalam hati Zahra tumbuh semakin besar. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi.
            Suatu hari saat pulang sekolah, Zahra berjalan menuju arah parkiran. Namun tiba-tiba, ada seseorang yang menarik pergelangan tangannya. Saat Zahra melihat orang tersebut, ia sangat terkejut.
            “Reno?” panggil Zahra.
            Zahra melirik bunga dan coklat yang ada di genggaman tangan Reno.
            “Zah, maukah kamu menjadi pacarku?” tanya Reno.
            Zahra sangat terkejut mendengar ucapan dari Reno. Ia berpikir sejenak. Setelah lama berpikir, akhirnya Zahra mau menerima cintanya Reno. Mereka berdua pun akhirnya jadian.
            Sebulan kemudian, hubungan mereka retak karena Reno ketahuan mempunyai selingkuhan. Saat itu, hati Zahra sangat hancur. Ia tak kuat lagi menghadapi cobaan yang datang secara terus-menerus ke dalam kehidupannya. Ia pun berniat untuk mengakhiri hidupnya.
            Sore hari, ketika teman-teman Zahra pulang, Zahra mengambil pisau yang dibawanya dari rumah. Ia pun berniat untuk bunuh diri dengan pisau itu. Saat ia mendekatkan pisau itu ke tangannya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencegah tangan Zahra.
            “Zahra!” teriak Ardhan.
            Zahra menoleh ke Ardhan.
            “Lepasin!”
            “Kamu jangan gila! Ingat, masa depanmu masih panjang, ingat kedua orangtuamu, dan ingat Allah, Zah,” tegas Ardhan.
            Zahra terdiam, Ardhan melihat Zahra dan ia langsung menjauhkan pisau itu dari tangan Zahra. Tak lama kemudian, Zahra menangis. Ia menangis sangat kencang, Ardhan hanya bisa melihatnya dengan perasaan tak tega. Ia membiarkan Zahra menangis, agar Zahra bisa melepaskan semua bebannya.
            “Aku, aku wanita yang nggak berguna, Dhan. Aku nggak pantas untuk hidup, lebih baik aku mati dari pada aku terus-terusan berbuat dosa,” kata Zahra sambil menangis.
            “Tak baik berkata seperti itu, jika kamu merasa banyak dosa, cepat-cepatlah bertaubat, karena sesungguhnya Allah itu Maha Penerima Tobat,”
            Zahra mulai mencurahkan semua masalah yang menjadi beban hidupnya kepada Ardhan. Setelah Zahra berhenti berbicara, Ardhan mulai menjelaskan tentang arti berhijrah dan keutamaan orang-orang yang sabar. Tak lupa, ia menjelaskan tentang hukum pacaran dalam Islam.
            “Zah, asal kamu tahu, kamu itu tidak munafik. Apa hanya dengan sifat pemarahmu itu kamu bisa mendefinisikan dirimu sebagai orang munafik? Jika iya, berarti kamu salah besar. Orang dikatakan munafik, apabila orang itu berkata, ia berdusta, apabila berjanji, ia ingkari, dan apabila diberi kepercayaan, ia mengkhianati,”
            “Bukan hanya itu, sifat jelekku itu banyak. Kamu tak tahu tentang diriku yang sebenarnya,”
            “Aku memang tak tahu apa-apa tentangmu. Tapi, seharusnya kamu jangan melakukan hal segila dan sebodoh itu. Dan kamu perlu ingat hal ini, hijrah itu tak perlu terlalu cepat, biarpun lambat, asal bisa terlaksana,”
            Zahra terdiam. Ia siap mendengar semua ceramah dari Ardhan.
            “Terus, apakah kamu tahu keutamaan orang yang sabar?”
            Zahra menggelengkan kepalanya pelan.
            “Orang yang sabar itu akan selalu merasa dekat dengan Allah dan mendapat hadiah dari Allah berupa surga. Emang kamu nggak mau seperti itu?” tanya Ardhan.
            “Mau, tapi itu sulit dan sangat mustahil bagiku,”
            Ardhan tersenyum.
            “Tiada yang tidak mungkin di dunia ini. Dan, tidak ada kata sulit, selagi masih ada niat,”
            Zahra ber-oh ria dan ia tersenyum kepada Ardhan.
            “Terus, Zah, apakah kamu tahu hukum berpacaran dalam Islam?”
            “Tidak,”
            “Hukum pacaran dalam Islam itu dosa. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 32 yang artinya, ‘Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk’. Pacaran itu termasuk zina, Zah,”
            “Berarti, aku sudah melakukan zina? Tapi, aku tak merasa melakukan zina, aku hanya ketemuan saja,”
            “Zina bukan hanya yang ada di pikiranmu itu saja. Pandangan mata itu juga termasuk zina, terus zina hati, dan zina pikiran. Kamu melakukan itu, kan?”
            “Iya,” jawab Zahra.
            Setelah lama bercengkrama dengan Ardhan, akhirnya Zahra sangat mengerti dan paham tentang Islam. Dia pun berterimakasih kepada Ardhan, dan Ardhan hanya membalasnya dengan senyuman.
***
            Semenjak mendapat penerangan dari Ardhan, Zahra mulai memperbaiki penampilannya. Tetapi tidak hanya itu, ia juga mulai memperbaiki akhlaknya. Beberapa hari kemudian, ada seorang perempuan bercadar yang masuk ke dalam kelas Zahra. Ia di sana sebagai murid baru.
            “Assalamualaikum, perkenalkan, nama saya Vanya. Saya harap, teman-teman senang dengan kedatangan saya,” ucap Vanya
            Semua murid yang ada di kelas itu, menyambut kedatangan Vanya dengan senang, terutama Zahra. Ia sangat bahagia ketika melihat perempuan bercadar.
            Saat istirahat, Zahra berkenalan dengan Vanya.
            “Assalamualaikum,” ucap Zahra.
            “Waalaikumsalam,” jawab Vanya ramah.
             Lama-kelamaan, hubungan Zahra dan Vanya sudah seperti sahabat sejati. Zahra sangat senang, karena ia mempunyai sahabat yang bisa lebih menuntunnya menuju jannah-Nya.
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar