KD. 4.6. Menyajikan Pengalaman Pribadi dalam Bentuk Teks Cerpen
Apakah
Aku Tak Pantas Untuk Berhijrah?
Oleh : Any Mei (9-I)
Zahra, seorang gadis pemarah yang
mencoba untuk berhijrah. Betapa banyak masalah yang menimpanya, dan Zahra tidak
bisa menghadapinya dengan sabar. Ia selalu mencoba untuk sabar, tetapi hal itu
mustahil baginya. Kemustahilan itu akhirnya bisa dirubah menjadi kemungkinan
oleh Ardhan. Zahra selalu mendapat penerangan dari Ardhan, dan ia menjadi
semakin mengerti. Akhirnya, Zahra bisa istiqomah dalam berhijrah. Istiqomahnya
semakin kuat, ketika Vanya datang di kehidupannya, dan mereka berdua pun
menjalin persahabatan untuk menuju jannah-Nya.
***
Pagi hari yang cerah, matahari mulai
menampakkan senyumnya untuk menyapa bumi. Seorang perempuan yang tak lain
adalah Zahra, sedang sibuk menyiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah.
“Ayah, Ibu, Zahra pamit berangkat ke
sekolah dulu, ya,” pamit Zahra.
“Iya, hati-hati kalau di jalan,”
jawab Lesti, ibu Zahra.
“Iya, Bu. Assalamualaikum,” kata
Zahra sebelum berangkat ke sekolah.
“Waalaikumsalam,” jawab Lesti dan
Doni, ayah Zahra.
Di tengah perjalanan, Zahra terlihat
sangat menikmati udara segar di pagi hari. Dengan ayuhan sepeda onthel yang ia
kendarai itu, malah semakin membuat Zahra terlihat lebih santai. Setelah
menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Zahra sampai di sekolahan. Ia
segera memarkirkan sepedanya dan menuju ke kelasnya.
“Hai, Zahra,” sapa Eli, teman Zahra.
“Hai juga,” balas Zahra disertai
senyuman.
Tak lama kemudian, bel masuk
berbunyi dan pelajaran pun dimulai. Zahra terlihat begitu semangat mendengarkan
guru yang sedang menerangkan. Itulah kegiatan Zahra sehari-hari ketika ia
berada di sekolah.
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, dan tahun berganti tahun. Kini Zahra sudah beranjak dewasa. Entah
hasutan atau bisikan dari siapa, Zahra mulai memperhatikan pakaiannya. Dia
melihat dari atas hingga ke bawah. Tatapannya mulai tertuju kepada hijab yang
ia kenakan.
“Kalo berhijab, aku masih keliatan
rambutku. Terus, percuma aku berhijab, dong. Gimana, ya?” gumam Zahra sambil
memperhatikan ujung hijabnya.
Dia terus berpikir dan akhirnya ia memutuskan
untuk bertanya-tanya kepada guru ngajinya. Setelah sharing-sharing bersama gurunya, Zahra akhirnya paham. Ia pun
mencoba untuk mengubah penampilannya.
Jam 03.00 pagi, Zahra terbangun. Ia
segera mengambil air wudhu, setelah itu ia melaksanakan sholat tahajjud. Seusai
sholat, Zahra berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, hamba ingin memperbaiki
penampilan hamba, terutama akhlak hamba. Hamba memohon ridho-Mu, agar Engkau
melancarkan proses hijrah hamba, aamiin,”
***
Pagi ini, Zahra sudah rapi dan siap
untuk berangkat sekolah. Penampilannya sangat berbeda dari yang biasanya. Ia
memakai iket, handsock, dan baju yang
sedikit kebesaran. Lesti dan Doni bingung melihat penampilan anaknya, namun
mereka berdua hanya diam saja.
Saat di sekolah, Zahra berjalan
dengan menundukkan kepala menuju kelasnya. Tiba-tiba, ia bertabrakan dengan
Wildan.
“Hei, kalo jalan liat-liat, dong!
Punya mata gak, sih?!” bentak Wildan.
Zahra melihat Wildan sekilas, lalu
ia memalingkan wajahnya.
“Sorry,
aku nggak sengaja,”
“Zahra? Hahahaha, ini beneran elo?
Terus yang ada di kepala lo itu apa? Gombal, ya? Hahahaha,” ejek Wildan.
Zahra menatap Wildan dengan tatapan
tajam. Wildan menatap ke arah Zahra, ia memperhatikan Zahra mulai dari ujung
kepala sampai ujung kaki.
“Terus yang ada di tangan lo itu
apa? Pake ditutupin segala, kenapa tangan lo? Sakit, cacat, atau mungkin karena
hitam?”
Entah mengapa, ejekan dari Wildan
membuat Zahra naik darah.
“Berisik! Dasar setan!” kata Zahra
sambil berlalu dari hadapan Wildan.
“Mending kelihatan setan, dari pada
munafik!” sindir Wildan.
Zahra mendengar perkataan dari
Zidan. Hatinya sangat sakit. Tak lama, buliran bening jatuh dari mata indahnya.
Namun, ia mencoba menutupi dari teman-temannya.
Setelah pulang sekolah, Zahra segera
menuju ke kamar mandi. Dia mengeluarkan semua airmatanya. Dia begitu hancur,
karena perkataan Wildan selalu terngiang-ngiang di telinganya. Saat akan keluar
dari kamar mandi, ia mencuci mukanya dengan sabun muka, agar tidak kelihatan
seperti orang yang habis menangis di hadapan orangtuanya.
***
Pukul 03.00 pagi, Zahra terbangun
lagi. Ia berniat untuk melaksanakan sholat tahajjud, ia ingin mencurahkan
seluruh isi hatinya kepada Allah.
“Ya Allah, mengapa hamba tidak bisa
bersabar? Mengapa hamba mudah marah? Padahal, hamba sudah sholat, dzikir,
mengaji, dan berdoa kepada-Mu, tapi kenapa hamba masih tidak bisa menjadi
seorang muslimah sholehah? Hamba ingin menjadi wanita sholehah, wanita yang
sangat sabar saat menghadapi masalah, dan tidak mudah menangis, Ya Allah. Hamba
menginginkan semua itu,” kata Zahra sambil menengadahkan kedua tangannya dan
sesekali terisak dalam tangisannya.
Di sekolah, Zahra masih memakai
pakaian seperti kemarin. Saat Zahra tengah sibuk membaca novel, Wildan datang
menghampirinya, dan duduk di hadapannya. Zahra hanya melirik sekilas, lalu
kembali fokus ke novelnya.
“Hai, Zahra,” sapa Wildan.
Zahra tak membalas sapaan dari
Wildan. Wildan memandang wajah Zahra, dan pandangannya justru malah tertuju
pada iket yang dikenakan Zahra di kepalanya.
“Lo, kok kayak ibu-ibu, ya? Apa
nggak malu, kalo dikira ibu-ibu sama teman-teman?” tanya Wildan dengan nada
menyindir.
Zahra tetap diam.
“Aduh, beneran, deh, Zah. Lo sama
sekali nggak cocok tau, gak? Karena lo itu masih sma, tapi dandanan lo udah
kayak emak-emak, hmft,” ejek Wildan sambil menahan tawanya.
Tiba-tiba, Zahra menutup novelnya
dan menggebrak mejanya.
Brak!!!
Seluruh yang ada di kelas terkejut
dan langsung melihat ke arah Zahra dan Wildan.
“Kamu! Kamu tidak puas membikin aku
sakit hati? Apa kamu tidak puas menggunjing aku setiap hari? Apa kamu nggak
suka kalo aku berpenampilan seperti ini? Jawab!” teriak Zahra kepada Wildan.
Wildan terdiam sebentar, dan
tiba-tiba, dia meledakkan tawanya.
“Hahahaha, akhirnya ketahuan juga
akal bulus lo! Lo itu munafik! Penampilan lo sangat syar’i, tapi akhlak lo
busuk! Percuma!”
Mendengar perkataan dari mulut
Wildan itu, membuat airmata Zahra keluar. Zahra menutupinya dan langsung
berlari ke luar kelas. Ia menuju kamar mandi sambil menangis. Di saat itu juga,
ia melepas iketnya dan juga handsocknya.
***
Hari mulai berlalu, semenjak
kejadian itu, Zahra mulai merubah penampilannya seperti dulu lagi. Ia tidak
mengenakan iket dan handsock lagi,
baju yang dikenakannya pun seperti dulu. Ia merasa putus asa, dan ia merasa
bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia ingin sekali mengakhiri hidupnya,
tetapi saat itu ada seseorang yang membuat Zahra kembali semangat untuk
menjalani hidup, orang itu tak lain adalah Reno.
Zahra jatuh hati kepadanya, akhirnya
ia berusaha untuk mendekatinya. Reno juga merasa kalau Zahra menyukainya.
Lama-kelamaan, cinta yang ada di dalam hati Zahra tumbuh semakin besar. Ia tak
tahu harus berbuat apa lagi.
Suatu hari saat pulang sekolah,
Zahra berjalan menuju arah parkiran. Namun tiba-tiba, ada seseorang yang
menarik pergelangan tangannya. Saat Zahra melihat orang tersebut, ia sangat
terkejut.
“Reno?” panggil Zahra.
Zahra melirik bunga dan coklat yang
ada di genggaman tangan Reno.
“Zah, maukah kamu menjadi pacarku?”
tanya Reno.
Zahra sangat terkejut mendengar
ucapan dari Reno. Ia berpikir sejenak. Setelah lama berpikir, akhirnya Zahra
mau menerima cintanya Reno. Mereka berdua pun akhirnya jadian.
Sebulan kemudian, hubungan mereka
retak karena Reno ketahuan mempunyai selingkuhan. Saat itu, hati Zahra sangat
hancur. Ia tak kuat lagi menghadapi cobaan yang datang secara terus-menerus ke
dalam kehidupannya. Ia pun berniat untuk mengakhiri hidupnya.
Sore hari, ketika teman-teman Zahra
pulang, Zahra mengambil pisau yang dibawanya dari rumah. Ia pun berniat untuk
bunuh diri dengan pisau itu. Saat ia mendekatkan pisau itu ke tangannya,
tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencegah tangan Zahra.
“Zahra!” teriak Ardhan.
Zahra menoleh ke Ardhan.
“Lepasin!”
“Kamu jangan gila! Ingat, masa
depanmu masih panjang, ingat kedua orangtuamu, dan ingat Allah, Zah,” tegas
Ardhan.
Zahra terdiam, Ardhan melihat Zahra
dan ia langsung menjauhkan pisau itu dari tangan Zahra. Tak lama kemudian,
Zahra menangis. Ia menangis sangat kencang, Ardhan hanya bisa melihatnya dengan
perasaan tak tega. Ia membiarkan Zahra menangis, agar Zahra bisa melepaskan
semua bebannya.
“Aku, aku wanita yang nggak berguna,
Dhan. Aku nggak pantas untuk hidup, lebih baik aku mati dari pada aku
terus-terusan berbuat dosa,” kata Zahra sambil menangis.
“Tak baik berkata seperti itu, jika
kamu merasa banyak dosa, cepat-cepatlah bertaubat, karena sesungguhnya Allah
itu Maha Penerima Tobat,”
Zahra mulai mencurahkan semua
masalah yang menjadi beban hidupnya kepada Ardhan. Setelah Zahra berhenti
berbicara, Ardhan mulai menjelaskan tentang arti berhijrah dan keutamaan orang-orang
yang sabar. Tak lupa, ia menjelaskan tentang hukum pacaran dalam Islam.
“Zah, asal kamu tahu, kamu itu tidak
munafik. Apa hanya dengan sifat pemarahmu itu kamu bisa mendefinisikan dirimu
sebagai orang munafik? Jika iya, berarti kamu salah besar. Orang dikatakan
munafik, apabila orang itu berkata, ia berdusta, apabila berjanji, ia ingkari,
dan apabila diberi kepercayaan, ia mengkhianati,”
“Bukan hanya itu, sifat jelekku itu
banyak. Kamu tak tahu tentang diriku yang sebenarnya,”
“Aku memang tak tahu apa-apa
tentangmu. Tapi, seharusnya kamu jangan melakukan hal segila dan sebodoh itu.
Dan kamu perlu ingat hal ini, hijrah itu tak perlu terlalu cepat, biarpun
lambat, asal bisa terlaksana,”
Zahra terdiam. Ia siap mendengar
semua ceramah dari Ardhan.
“Terus, apakah kamu tahu keutamaan
orang yang sabar?”
Zahra menggelengkan kepalanya pelan.
“Orang yang sabar itu akan selalu
merasa dekat dengan Allah dan mendapat hadiah dari Allah berupa surga. Emang
kamu nggak mau seperti itu?” tanya Ardhan.
“Mau, tapi itu sulit dan sangat
mustahil bagiku,”
Ardhan tersenyum.
“Tiada yang tidak mungkin di dunia
ini. Dan, tidak ada kata sulit, selagi masih ada niat,”
Zahra ber-oh ria dan ia tersenyum
kepada Ardhan.
“Terus, Zah, apakah kamu tahu hukum
berpacaran dalam Islam?”
“Tidak,”
“Hukum pacaran dalam Islam itu dosa.
Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 32 yang artinya, ‘Dan janganlah
kamu mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan keji dan
jalan yang buruk’. Pacaran itu termasuk zina, Zah,”
“Berarti, aku sudah melakukan zina?
Tapi, aku tak merasa melakukan zina, aku hanya ketemuan saja,”
“Zina bukan hanya yang ada di
pikiranmu itu saja. Pandangan mata itu juga termasuk zina, terus zina hati, dan
zina pikiran. Kamu melakukan itu, kan?”
“Iya,” jawab Zahra.
Setelah lama bercengkrama dengan
Ardhan, akhirnya Zahra sangat mengerti dan paham tentang Islam. Dia pun
berterimakasih kepada Ardhan, dan Ardhan hanya membalasnya dengan senyuman.
***
Semenjak mendapat penerangan dari
Ardhan, Zahra mulai memperbaiki penampilannya. Tetapi tidak hanya itu, ia juga
mulai memperbaiki akhlaknya. Beberapa hari kemudian, ada seorang perempuan
bercadar yang masuk ke dalam kelas Zahra. Ia di sana sebagai murid baru.
“Assalamualaikum, perkenalkan, nama
saya Vanya. Saya harap, teman-teman senang dengan kedatangan saya,” ucap Vanya
Semua murid yang ada di kelas itu,
menyambut kedatangan Vanya dengan senang, terutama Zahra. Ia sangat bahagia
ketika melihat perempuan bercadar.
Saat istirahat, Zahra berkenalan
dengan Vanya.
“Assalamualaikum,” ucap Zahra.
“Waalaikumsalam,” jawab Vanya ramah.
Lama-kelamaan, hubungan Zahra dan Vanya sudah
seperti sahabat sejati. Zahra sangat senang, karena ia mempunyai sahabat yang
bisa lebih menuntunnya menuju jannah-Nya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar